Bis
menepi dan berhenti di kampung Sobontoro. Seorang wanita cantik turun dari bis.
Di tepi jalan sudah ada seorang lelaki yang sudah menunggunya. Lelaki tersebut
lebih muda dibanding wanita tersebut. Lelaki tersebut memakai jas hujan dan
duduk di motor TIGERnya.
“Kenapa
lambat kali bibi Lia ? Biasanya sebelum maghrib sudah samoai ?” Tanya kemenakan
laki - lakinya yang menjemput.
“Nanti
sajalah aku akan cerita. Aku lelah sekali.” Jawab bibinya, Lia.
Anak
lelaki muda itu memutar motornya. Kemudian menstart. Setelah bibinya, Lia naik
diatas jok anak muda laki – laki tncap gas menuju Desa Sawir. Sawir adalah Desa
kecil satu kilo meter disebelah selatan Desa Sobontoro.***
Sementara
itu Romi yang masih di terminal Tuban sedikit kebingungan. Ketika ia mau
membayar nasi krengsengan yang telah
dimakannya ia tidak punya apa – apa lagi. Ia merogoh sakunya untuk mengambil
dompet. Tetapi dompetnya tidak ada disaku celananya tersebut. Karena dompetnya
jatuh didalam bis. Sedangkan bis sudah meninggalkan terminal. Ia tidak mungkin
mengejar bis itu.
Romi
mau telpun keluarganya. Tetapi HPnya rusak kena rendam air ketika ia terjatuh
digenangan air hujan di terminal Bungurasih Surabaya. Mau ke wartel ia lupa
nomor yang mau dihubungi. Pada saat yang demikian Romi hampir kehabisan akal.
Romi
membongkar tas usangnya di meja warung nasi itu. Ia keluarkan segala isinya.
Seakan – akan ia mencari uang didalam tas tersebut. Al – Qur’an lusuh, sarung
lusuh, kaos sobek, sajadah usang, HP jadul, buku harian lusuh, dan fashdisk
kapasitas empat giga dikeluarkan semuanya.
Wanita
pemilik warung itu melihat semua isi tas tersbut. Wanita penjual nasi itu
trenyuh melihat Romi. Ternyata isi tas Romi hanya berisi barang – barang yang
bernilai ritual agama saja.
“Berapa
buk nasinya ?” Tanya Romi.
“Tujuh
ribu saja nak.” Jawab pemilik warung itu.
“Maaf
buk ! Semua uangku hilang dibis jurusan Jakarta tadi. Bagaimana kalau aku bayar
dengan barang yang aku miliki ini ? Ibu bisa memilih barang yang mana yang ibu
kehendaki ?”
“Hanya
tujuh ribu saja kok nak. Masak tujuh ribu saja tidak ada lagi ?”
“Betul
buk, aku tidak punya uang lagi. Atau bagaimana kalau aku tinggal disini semua
barangku ini. Kecuali HP jadulku ini. Dan insyaalloh besuk aku akan kembali
mengambil barang – barangku ini. Tapi sekrang aku pinjam uang sejumlah 25 ribu
dulu sama ibu untuk pulang kekampungku di Tambak Boyo.”
“Bagaimana
ya nak ? Aku tidak butuh barang – barangmu itu. Aku hanya butuh uang nak.”
“Sekedar
untuk diketahui saja buk. Barang kecil ini namanya flasdisk. Flashdisk yang kecil
ini harganya dulu 75 ribu buk. Kalau sekarang aku tidak akan menjual karena
didalamnya tersimpan berbagai ilmu buk. Maka kalau ibuk percaya semua barangku
aku tinggal disini. Aku hanya pinjam uang 25 ribu untuk pulang ke Tambak Boyo.
Insyaalloh besuk aku akan kembali. Dan insyaalloh nasi krengsengan yang
harganya 7 ribu akan aku bayar tiga kali lipat buk.”
“Apakah
tidak ada uang lima ribu saja nak. Sisanya bisa dilunasi besuk.”
“Tidak
ada buk. Apa perlu bukti ? Biar aku keluarkan semua isi sakuku ini. Kalau masih
ada uang tersisa ambil sajalah semuanya.”
“Bagini
sajalah nak. Carikan saja pinjaman ditempat lain ! Kalau dapat nanti kembali
kesini ! Tapi barang – barangmu biar disini saja.”
Romi
benar – benar bingung menghadapi wanita penjual nasi itu. Ia benar – benar
kehabisan akal. Berbagai rayuan telah diutarakan tetapi tampaknya penjual nasi
itu tidak percaya. Maka ia mengambil langkah seribu.
“Kalau
begitu baiklah buk. Aku tinggal semua barang – barangku ini disini. Tapi tolong
jaga baik – baik jangan sampai hilang. Teruma flashdisk. Kalau sampai flashdisk
yang hilang maka ibuk akan aku tuntut. Karena didalamnya ada beberapa hal yang
sangat penting dan belum sempat aku
simpan di laptop. Sudah selamat tinggal buk.”
Romi
pergi kepinggir jalan. Ia nekat untuk mencari tumpangan mobil – mobil / truk
yang sedang lewat. Hujan masih belum
reda. Walaupan tidak selebat sebelumnya tapi tidak lama Romi dijalan ia sudah
basah kuyup.
Romi
memberhentikan setiap mobil yang lewat. Sudah puluhan mobil yang di berhentikannya.
Tetapi sudah puluhan mobil belum juga ada yang mau behenti. Maka ia seperti
kalap saja. Ia nekat berdiri ditengah – tengah jalan. Ia sudah tidak urus lagi,
entah ditabrak mobil atau tidak. Yang penting ia berdiri ditengah jalan untuk
mencari tumpangan agar bisa pulang ke Desa Belik Anget Kecamatan Tambak
Boyo.
Tidak
lama kemudian ada mobil yang lewat. Mobil itu mengklakson terus. Tetapi Romi
malah menghadang ditengah jalan. Ia merentangkan tangan. Seakan menantang untuk
ditabrak. Setelah dekat mobil berhenti pula. Sopirnya marah dan mengeluarkan
kata – kata kotor.
“Bangsat
! Minggir bodoh ! Menyidam mati ya ?” Hardik sopir terhadap Romi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar