Saat itu H. Sulaiman datang dari sawah. Ia masuk kedapur bermaksud
untuk mengambil bekal sarapan pagi buat orang – orang yang bekerja disawahnya.
Tapi ia tidak mendapati apa yang dimaksud. Ia basuh kaki dan masuk kerumah.
“Lia, mana ibumu ?” Panggil H. Sulaiman.
“Ya ayah. Ibu dikamar ayah. Ada apa ?” Jawab Lia.
“Bungkusan sarapan pagi untuk kiriman orang – orang bekerja disawah
ditaruh dimana ?”
“Mungkin belum dibuat ayah.”
“Mana ibumu ?” Tanya H. Sulaiaman terhadap Lia.
Hj. Mariam mendengar suara suaminya itu segera bangun. Ia segera
mengelap air mata yang ada dipipinya. Setelah itu ia pura – pura merapikan
kamar tidurnya.
“Ya ayah. Aku disini ayah. Sedang merapikan tempat tidur.” Sahut
Hj. Mariam dari dalam kamar tidur.
“Di taruh dimana nasi untuk orang – orang bekerja disawah bu ?”
Tanya H. Sulaiman terhadap isterinya.
“Astaghfirullohal ‘adhim. Maaf ayah ! Aku lupa tadi mau membungkus.
Habis aku tidak tahu berapa jumlah orang yang bekerja. Jadi aku menunggu ayah
datang dari sawah.” Hj. Mariam beralasan.
“Seperti kemarin, 20 orang.” Jawab H. Sulaiamn.
Lia tertawa mengetahui ibunya bersandiwara dengan ayahnya. Demikian
juga Syukur. Tetapi mereka berdua menahannya. Karena ia merasa hampir tidak
sanggup menahan tawanya, maka mereka berdua berjalan cepat menuju kedapur.
Sampai didapur Lia segera membersihkan dan menata daun – daun untuk membungkus
nasi kiriman. Sedang Syukur mengangkat nasi dan sayur.
Beberapasa saat kemudian Hj. Mariam sudah berada didapur. Ia segera
membungkus 20 bungkus nasi. Tidak sampai sepuluh menit selesailah pekerjaan
membungkus nasi itu.
“Aku akan ke Tuban dengan syukur bu ?” Lia segera pamit kepada
ibunya untuk segera menghindari situasi yang kurang kondusif itu.
“Lho…. Katanya besuk try out. Katanya mau belajar giat agar dapat
nilai bagus, kok malah mau pergi ke Tuban. Ada apa ?” Tanya ibunya.
“Mau minjam buku di tempat kawan sambil belanja pakaian bu.” Jawab
Lia.
“Belanja pakaian ? Uang dari mana ?” Tanya ibunya.
“Uang dari…. Mas Romi….” Jawab Lia dengan suara pelan dan mantap.
“Hah …. Uang dari Romi ?” Tanya Hj. Mariam kepada Lia.
“Betul bu … Uang darinya. He he he …” Jawab Lia sambil tersenyum.
Lia dan Syukur keluar dapur. Mereka berdua pergi ke halaman rumah.
Lia memasukkan motornya kegarasi. Sedang Syukur manstart motor Tigernya.
“Tunggu ! Aku ikut ke Tuban, tapi aku mau berganti pakaian dulu.” Pinta Lia kepada
kemenakannya.
“Jadi shopping ?” Tanya Syukur.
“Ya. Jadi. Sepulang belanja nanti mampir di rumah kawanku. Kita
istirahat disana sambil makan siang.”
“Mana rumah kawan bibi ?”
“Kita tidak mampir kerumahnya. Tapi mampir di warungnya, nasi
krengsengan.”
“Dimana itu warungnya ? Aku suka nasi krengsenngan bibi.”
“Warungnya di lokasi terminal Tuban.”
“Oke. Segara saja berganti pakaian bibi. Aku tidak sabar makan nasi
krengsengan.”
Lia masuk kerumah dengan cepat. Ia segera berganti pakaian
kesukaannya. Celana jean dan kaos lengan pendek. Tidak lupa ia melilitkan
sehelai kain sal dilehernya. Tidak lama kemudian ia keluar kamar.
“Bibi jangan memakai pakaian semacam itulah. Syukur malu kalau
berjumpa dengan kawan – kawan. Berpakaianlah yang islami.” Pinta Syukur kepada
Lia, bibinya.
“Bibi mau berpakaian menutup aurot kalau suami bibi seorang ustadz.
Biarlah bibi sekarang berpakaian semacam ini saja.” Jawab Lia.
“Mana mungkin ada seorang ustadz mau melamar bibi kalau bibi
berpakaian norak semacam itu.”
“Ah mungkin saja. Sekarangpun bibi sudah dilamar seorang ustadz.”
Sahut Lia dengan bangga.
“Ustadz orang mana ? Dan siapa namanya ?”
____________________
Insyaalloh bersa,bung