“Mana mungkin ada seorang ustadz mau melamar bibi kalau bibi
berpakaian norak semacam itu.”
“Ah mungkin saja. Sekarangpun bibi sudah dilamar seorang ustadz.”
Sahut Lia dengan bangga.
“Ustadz orang mana ? Dan siapa namanya ?”
“Hemmm …. Ustazd dari Desa belik Anget. Putra seorang kyai.
Namanya….” Lia menjawab pertanyaan Syukur tapi tidak sempurnya.
“Maksud bibi ustadz Romi ?”
“Betul. Dia adalah Mas Romi.”
“He he he …. Bibi … bibi. Mana mungkin dia mau dengan bibi yang
berpakaian seperti orang barat. Orang yang tidak tahu ajaran Islam.”
“Tapi buktinya dia mau sama bibi.”
“Mana buktinya ?”
“Buktinya ? Buktinya dia memberikan uang kepada bibi sejumlah empat
ratus ribu rupiah. Dengan uang itu aku akan membeli pakaian yang islami.
Pakaian yang sesuai dengan kehendak Mas Romi.”
“He he he … Bibi sudah gila. Gila sama si santri yang wajahnya
bengkak – bengkak.”Seloroh Syukur.
“Biarin. Aku memang lagi gila sama dia. Kalau gila sama ustadz,
orang ‘alim dan tampan itu tidak apa – apa. Itu berarti gila yang
menguntungkan. Bukan gila yang merugikan. Yak kan ? Ayo berangkat sekarang
juga, keburu siang !” Jawab Lia
Syukur tidak menimpali pembicaraan bibinya itu. Ia segera menstart
motornya. Setelah itu bibinya naik diboncengan. Segera Syukur memacu motornya
kearah utara. Arah jalan raya. ***
Saat itu dibelahan bumi yang lain sekitar jam sebelas siang Romi
dan Rofiq memarkir motor didepan warung krengsengan Hj. Aminah. Setelah itu
mereka masuk ke warung nasi krengsengan tersebut. Mereka berdua pulang dari
rumah sakit menjenguk kawannya yang sakit.
Seperti biasa setiap bepergian Romi selalu memanggul tas usangnya.
Tas usang untuk membawa peralatan ibadah. Sajadah, peci, kain sarung dan Al –
Qur’an kecil. Ketika masuk kewarung nasi krengsengan itu ia masih memanggul tas
jelek tersebut. Tas itu baru ia lepas dari punggungnya setelah ia duduk didalam
warung.
“Assalamu’alaikum. Nasi krengsengan dua porsi. Minumnya air putih
saja.” Pinta Romi kepada Hj. Aminah.
“Wa’alaikum salam. Ya sebentar nak ! Dari mana nak ?” Jawab Hj.
Aminah.
“Kami dari rumah sakit menjenguk kawan yang dirawat disanan.”
“Mau pulang kemana ?”
“Pulang ke Tambak Boyo. Ibu sudah lupa ya sama kami ? Tiga minggu
yang lewat kami juga makan disini. Aku malam itu makan disini dengan
menghutang. Karena dompetku jatuh didalam bis. Kemudian aku harus meninggalkan
tas jelekku ini disini sebagai jaminannya. Baru pagi harinya aku kesini lagi bersama
kawanku ini untuk membayar hutang itu. Sekarang kami kesini lagi. Kangen dengan
nasi krengsengannya. Kalau pagi ini kami makan menghutang lagi boleh apa tidak
ya ?” Jawab Romi dengan nada bersahabat.
Sebelum melayani Hj. Aminah mengamati seorang pembeli nasi
krengsengan yang memanggul tas jelek itu. Pertama mengamati tasnya yang jelek.
Mengamati wajahnya. Mengamati pakaiannya. Ketika mengamati wajahnya ia
terperanjat. Karena wajah saat itu terlalu jelek untuk dipandang. Sedangkan
wajah pemuda yang ada dihadapannya terbilang tampan. Walaupun tidak terlalu
tampan, tapi setiap wanita yang memandangnya tentu bergumam “hemmm …
tampan”. Begitu dalam benak Hj.
Aminah.
Tetapi setelah mengamati tas dan pakaiannya, ia baru percaya. Bahwa
pemuda yang dihadapannya adalah pemuda yang tiga minggu yang lewat pernah
mengutang nasi krengsengan.
“He he he … Kapan saja boleh menghutang makan diwarung ini. Pokok
ada jaminannya tas jelek.” Seloroh Hj. Aminah.
“Kalau kami makan dengan menghutang disini jaminannya bukan tas
jelek lagi bu. Tapi jaminannya ini kawanku, pemuda yang tampan dari Tambak
Boyo. He he he ….” Seloroh Romi juga.
“Begitupun boleh juga. Asalkan disini mau kerja.”
Siska sudah tahu siapa dua pemuda yang datang itu sejak Romi
memarkir motornya. Sejak itu ia mengamat – amati dua pemuda berwajah tampan
itu. Kemudian ia mengambil tempat duduk didepan warung. Ia berusaha menampakkan
dirinya. Ia ingin disapa oleh dua orang pemuda tampan itu. Tapi ketika mereka
berdua masuk kewarung dan tidak menyapanya hatinya menjadi kecewa sekali.
Tetapi ketika mendengar Romi berseloroh “Tapi
jaminannya ini kawanku yang tampan ini” hatinya kembali senang. Bahkan
ia masih mengharapkan begitu keluar mereka mau menyapanya. Kalau mereka tidak
menyapanya, maka ia ingin menggoda mereka.
Dua porsi nasi krengsengan sudah di hidangkan. Mereka berdua
menyantap dengan lahap setelah berdoa. Selesai makan ia segera membayar sambil
berkata.
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar