Total Tayangan Halaman

Jumat, 16 Maret 2012

Cerber 54. Kasih Tak Sampai.8. KEBENCIAN TERTUKAR DENGAN SIMPATI




Mentari belum tampak tersenyum. Ia masih tertahan oleh juntaian ujung jubah malam. Kokok ayam masih terdengar bersaut – sautan. Menghiasai Susana pagi Desa Sawir. Angin belum berhembus. Masih malas.

Para petani sudah berlalu lalang. Saling berpapasan antara mereka. Tegur sapa diantara mereka menjadi cirri khas keramahan warga masyarakat Desa Sawir. Ada yang berjalan kearah utara dan ada pula yang berjalan menuju arah selatan. Mereka yang berjalan menuju kearah utara mereka kebanyakan mau ke sawah. Mereka bekerja merawat tanaman disawah. Dan mereka yang pergi kearah selatan kebanyakan mereka bekerja diladang. Merawat tanaman dilahan kering berupa tegal. Ada pula yang bekerja menambang batu kumbung. Batu putih yang dibuat sebagai dinding dan pagar.

Saat itu Lia dihalaman belakang. Ia sedang menjemur pakaian. Satu persatu pakaiannya di bentangkan dan digantung ditempat jemuran.

“Bibi … bibi, bagaimana kabar bibi ?” Panggi Syukur kepada Lia.

Lia sedikit terkejut terhadap panggilan itu. Ia menoleh kearah suara panggilan itu. Ia seperti tidak percaya kalau sepagi itu Syukur pulang dari pesantren. Karena kemenakannya yang manja itu biasanya pulang menjelang malam.
    
“Tumben amat kamu hari ini. Sepagi ini kamu sudah pulang. Bermimpi apa semalaman ?” Tanya Lia.

“He he he …. Kalau tidak pulang pagi – pagi, Syukur takut bibi sudah terlanjur kabur. Karena biasanya kalau hari minggu siang sedikit bibi sudah terbang kemana – mana.”

“Memangnya kamu pulang pagi ini ada penting dengan bibi ?”

“Benar bibi. Pagi ini Syukur ingin pergi bersama bibi.”

“Pergi kemana ? Bibi malas hari ini pergi berjalan – jalan. Besuk pagi bibi try out. Kalau mau pergi silahkan pergi sendiri saja.”

“Pergi shopping . Apakah bibi tidak ingin membeli gaun baru yang cantik ?”

“Uang dari mana lagi ? Bibi tidak punya uang cukup untuk membeli pakaian. Bibi tidak kemana – mana, akan belajar saja dirumah.”

“Hari ini jangan khawatir bibi. Uang tidak jadi masalah hari ini. Biar Syukur yang membeli bensin motornya.”

“Kamu jangan bercanda lagi Syukur. Sudah sana pergi kenenek !”

“Ini benaran bibi. Ini bukan canda. Kalau bibi tidak mau ya sudah uang itu untuk aku saja.”

Syukur merogoh sakunya. Lantas ia mengeluarkan uang dari sakunya itu.  Tampak lembaran uang mawar merah.

“Ini tengok ! Tadi malam aku dikasih uang lima ratus ribu oleh ustadz. Seratus ribu untukku dan yang empat ratus ribu untuk bibi.”

Lia melihat uang lembaran ratusan ribu yang ada ditangan Syukur. Ia penasaran terhadap apa yang dikatakan oleh Syukur.

“Aku dikasih uang oleh ustadzmu ? Uang apa ? Jangan – jangan ada udang dibalik batu.”

“Betul. Bibi dikasih uang empat ratus ribu rupiah. Ustadzku memang seperti ada dibalik batu kepada bibi.”

“Ah….! Ustadzmu itu macam – macam saja. Aku menengok wajahnya saja maaf “tidak suka” Syukur. Kembalikan saja uang itu !”

“Bibi jangan terlalu mencaci ustadzkulah. Ia orangnya baik – baik. Memang benar. Ia ada udang dibalik batu. Tapi bukan ada niatan jelek bibi. Ia memberikan uang itu ada dua tujuan. Pertama, ia terima kasih atas ditemukannya dompet miliknya. Kedua, ia memberikan uang itu untuk membeli satu stel pakaian untuk mengganti pakaian yang kena air liurnya. Ia tidak ada niatan selain dua itu bibi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar