Mentari belum tampak tersenyum. Ia masih tertahan oleh juntaian
ujung jubah malam. Kokok ayam masih terdengar bersaut – sautan. Menghiasai
Susana pagi Desa Sawir. Angin belum berhembus. Masih malas.
Para petani sudah berlalu lalang. Saling berpapasan antara mereka.
Tegur sapa diantara mereka menjadi cirri khas keramahan warga masyarakat Desa
Sawir. Ada yang berjalan kearah utara dan ada pula yang berjalan menuju arah
selatan. Mereka yang berjalan menuju kearah utara mereka kebanyakan mau ke
sawah. Mereka bekerja merawat tanaman disawah. Dan mereka yang pergi kearah
selatan kebanyakan mereka bekerja diladang. Merawat tanaman dilahan kering
berupa tegal. Ada pula yang bekerja menambang batu kumbung. Batu putih yang
dibuat sebagai dinding dan pagar.
Saat itu Lia dihalaman belakang. Ia sedang menjemur pakaian. Satu
persatu pakaiannya di bentangkan dan digantung ditempat jemuran.
“Bibi … bibi, bagaimana kabar bibi ?” Panggi Syukur kepada Lia.
Lia sedikit terkejut terhadap panggilan itu. Ia menoleh kearah
suara panggilan itu. Ia seperti tidak percaya kalau sepagi itu Syukur pulang
dari pesantren. Karena kemenakannya yang manja itu biasanya pulang menjelang
malam.
“Tumben amat kamu hari ini. Sepagi ini kamu sudah pulang. Bermimpi
apa semalaman ?” Tanya Lia.
“He he he …. Kalau tidak pulang pagi – pagi, Syukur takut bibi
sudah terlanjur kabur. Karena biasanya kalau hari minggu siang sedikit bibi
sudah terbang kemana – mana.”
“Memangnya kamu pulang pagi ini ada penting dengan bibi ?”
“Benar bibi. Pagi ini Syukur ingin pergi bersama bibi.”
“Pergi kemana ? Bibi malas hari ini pergi berjalan – jalan. Besuk
pagi bibi try out. Kalau mau pergi silahkan pergi sendiri saja.”
“Pergi shopping . Apakah bibi tidak ingin membeli gaun baru yang
cantik ?”
“Uang dari mana lagi ? Bibi tidak punya uang cukup untuk membeli
pakaian. Bibi tidak kemana – mana, akan belajar saja dirumah.”
“Hari ini jangan khawatir bibi. Uang tidak jadi masalah hari ini.
Biar Syukur yang membeli bensin motornya.”
“Kamu jangan bercanda lagi Syukur. Sudah sana pergi kenenek !”
“Ini benaran bibi. Ini bukan canda. Kalau bibi tidak mau ya sudah
uang itu untuk aku saja.”
Syukur merogoh sakunya. Lantas ia mengeluarkan uang dari sakunya
itu. Tampak lembaran uang mawar merah.
“Ini tengok ! Tadi malam aku dikasih uang lima ratus ribu oleh
ustadz. Seratus ribu untukku dan yang empat ratus ribu untuk bibi.”
Lia melihat uang lembaran ratusan ribu yang ada ditangan Syukur. Ia
penasaran terhadap apa yang dikatakan oleh Syukur.
“Aku dikasih uang oleh ustadzmu ? Uang apa ? Jangan – jangan ada
udang dibalik batu.”
“Betul. Bibi dikasih uang empat ratus ribu rupiah. Ustadzku memang
seperti ada dibalik batu kepada bibi.”
“Ah….! Ustadzmu itu macam – macam saja. Aku menengok wajahnya saja
maaf “tidak suka” Syukur. Kembalikan saja uang itu !”
“Bibi jangan terlalu mencaci ustadzkulah. Ia orangnya baik – baik.
Memang benar. Ia ada udang dibalik batu. Tapi bukan ada niatan jelek bibi. Ia
memberikan uang itu ada dua tujuan. Pertama, ia terima kasih atas ditemukannya
dompet miliknya. Kedua, ia memberikan uang itu untuk membeli satu stel pakaian
untuk mengganti pakaian yang kena air liurnya. Ia tidak ada niatan selain dua
itu bibi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar