Total Tayangan Halaman

Senin, 12 Maret 2012

Cerber 47. Kasih Tak Sampai. 6. Kata Maaf Yang Indah


“Tidak selayaknya aku marah terhadapmu. Apalagi terhadap bibimu. Bibimu tentu orang yang baik hati. Tidak pantas orang baik – baik dimarahi. Seharusnya orang baik harus disanjung dan didoakan. Kalau boleh lain kali aku ingin bisa kenalan dengan bibimu.” Sambung Romi.

“Aku rasa tidak usah kenalan juga tidak apa – apa. Karena bibiku takut dengan ustadz. Karena dia telah berbuat tidak senonoh kepada ustadz.” Tolak Syukur.

“He he he …. Syukur… Syukur. Bibimu itu belum kenal denganku, mana mungkin dia punya salah denganku. Kalau hanya sekedar menahan dompetku itu bukan salah. Lantaran mungkin dia hanya bingung dengan dompetku yang tidak ada isinya apa – apa.”

“Sebenarnya ustadz sudah tahu bibiku, walaupun hanya sekejap.”

“Dimana aku tahu bibimu ? Jangan melamun kamu Syukur !”

Syukur menundukkan kepala. Ia diam. Ia ragu dan takut mau menjelaskan siapa sebenarnya bibinya.
“Apakah bibimu sudah tahu aku ? Kalau dia sudah tahu aku, dimana dia bertemu denganku ?” Desak Romi.

“Maaf ustadz ! Jangan marah. Bibiku mengetahui ustadz ketika naik bis. Dia duduk disebelah kanan ustadz. Dialah yang telah membentur – benturkan kepala ustadz ke dinding bis.” Jelas Syukur kepada Romi.

Mendengar keterangan itu, Romi diam. Tiba – tiba hatinya panas. Ingin meluapkan kemarahannya. Gara – gara wanita itu ia harus rela turun di terminal Tuban. Ia rela kehujanan, kelaparan, kedinginan dan harus tidur dimasjid dengan duduk semalaman. Dam harus kehilangan dompet pula.

Namun Romi segera sadar bahwa bukan wanita itu yang salah. Tetapi dirinyalah yang salah. Gara – gara ia tidak memenuhi hak mata (tidur) ia mengantuk di bis. Dan dari rasa kantuk itulah akhirnya kepalanya sering berkunjung kedada wanita yang ada disebelahnya. Maka wajar kalau wanita itu marah. Begitu pikir Romi.
Terbersit pula dalam hati Romi sebuah rasa. Rasa mengagumi kecantikan wanita yang duduk disebelahnya ketika naik bis itu.

Tiba – tiba Romi ingat kepada suatu peristiwa yang sangat memalukan. Yaitu air liur busuknya tumpah didada wanita tersebut. Ketika itu ia ingat janjinya. Janji ingin mengganti pakaian wanita yang kena air liur itu dengan satu stel pakaian baru.

“Ustadz marah ya terhadapku dan terhadap bibiku ? Maafkan kami ustadz !” Tanya Syukur dengan suara memelas.

“Tidak …. Aku tidak marah Syukur. Aku masih ingat peristiwa yang memalukan dan menyebabkan bibimu marah. Air liurku yang berbau busuk mengenai baju bagian dadanya. Aku sangat malu terhadapnya. Saat itu bibimu akan turun dari bis, walaupun belum sampai Sobontoro. Karena hujan lebat dia tidak turun. Maka untuk mengurasngi rasa tidak nyamannya maka akulah yang kemudian turun di terminal Tuban. Walaupun aku seharusnya turun di Tambak Boyo. Saat itulah dompetku tidak ada disakuku. Mungkin jatuh ditempat duduk. Karena aku masih mengantuk dan hujan aku lari turun dengan loncat dan lari. Sehingga tidak ada kesempatan untuk meneliti barang-barangku.   Aku malu terhadap bibimu. Malamnya aku tidur di masjid Tambak Boyo. Ketika itu terucap janjiku dalam hati terhadap bibimu. Kalau aku bisa berjumpa dengannya aku akan minta maaf dan aku akan mengganti pakaiannya yang kena air liur itu dengan pakaian satu stel yang baru.  Sekarang aku malu terhadap bibimu. Kapan kamu ada sempat pulang mintakan maafku kepadanya ya !. Aku tidak ingin bertemu dengannya.  Aku malu sekali. Aku rasa permohonan maafku cukup melalui lidahmu saja. Aku yakin lidahmu lebih pas untuk bisa memintakan maaf kesalahanku terhadapnya.”

Setelah dompet itu diberikan kepadanya, Romi bersujud syukur ditempat itu. Ia meneteskan air mata. Karena Alloh telah memberikan dompet itu melalui tangan muridnya. Bukan tangan orang lain.

Romi berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya. Ia membuka almari. Ia mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu. Seetelah itu ia berjalan menuju ketempat Syukur, muridnya.

“Ini selembar ratusan untukmu. Dan selebihnya untuk bibimu. Sebagai rasa terima kasihku kepadanya. Rasa terima kasihku karena walaupun dia telah aku sakiti ternyata dia masih juga sudi membawakan dompetku yang jelek ini. Dan sebagai pelunasan janjiku dalam hati. Janji mengganti pakaian baru satu stel atas baju yang terkena air liur busukku

Syukur menghitung uang itu. Ada lima lembar uang ratusan ribu. Jadi jumlah semuanya lima ratus ribu. Syukur merasa tidak enak menerima uang terlalu banyak dari ustadznya itu. Lima ratus ribu adalah uang yang terbilang cukup banyak. Dia sendiri bekalnya dipesantren saja hanya empat ratus lima puluh ribu. Tapi hanya sekedar menemukan dan  mengembalikan dompet saja bisa menerma uang sebanyak itu.  
“Maaf ustadz ! Ini terlalu banyak ustadz. Aku tidak mau menerima uang sebanyak ini. Bibiku dan aku hanya menemukan dan mengembalikan dompet ini. Tidak layak mendapatkan hadiah atau sedekah sebanyak ini ustadz.” 

“Tidak. Uang itu tidak banyak bagiku, diukur dengan kalau aku harus mengurus KTP. Kalau aku mengurus KTP akan mengorbankan waktu yang panjang. Sehingga aku akan ketinggalan beberapa  materi pelajaran. Maka kerugianku tidak bisa ditebus dengan hanya sekedar uang sejumlah itu. Dan ingat Syukur ! Besuk hari Senin aku insyaalloh akan dikirimi uang oleh Ustadz Toha berkat KTP yang kamu berikan ini, uang sejumlah tujuh juta lima ratus ribu rupiah. Jadi hitung – hitung bagianmu yang hanya dibawah sepuluh persennya dari uang yang akan aku dapat dari KTP ini Syukur. ”

“Dan uang itu sangat sedikit nilainya kalau diukur dengan satu stel pakaian wanita. Maka berikan uang sedikit itu kepada bibimu untuk membeli satu stel pakaian ! Dan rayualah agar dia tidak marah kepadaku ! ” Sambung Romi.

Syukur keluar dari kamar setelah ijin ustadznya. Ia pergi menuju tempat seorang kenalannya. Seorang pemuda kampung yang biasanya dipinjami HP. Disana ia menghubungi bibinya yang ada didesa Sawir dengan HP pinjaman itu.

“Assalamu’alaikum. Bagaimana kabar bibi mala mini ? Sudah tidur apa belum ? Apa masih membantu membuat kripik jagung ?” Sapa Syukur kepada bibinya.

“Wa’alaikum salam. Alhmdulillah bibi dan keluarga disini baik – baik. Tapi hatiku masih gelisah terus. Bagaimana tentang dompet ustadzmu itu ? Sudah diserahkan apa belum ?” Jawab Lia penuh harap.
______________________
Insyaalloh bersambung !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar