Total Tayangan Halaman

Sabtu, 17 Maret 2012

Cerber 63. Kasih Tak Sampai.8. KEBENCIAN TERTUKAR DENGAN SIMPATI


Muka Romi merah padam mendengarkan kalimat Syukur yang terakhir itu. Ia memakai helmnya kembali. Setelah itu ia menstart motornya. Ia segera memacu motornya kearah barat setelah menebarkan salam kepada mereka berdua. Ia meninggalkan mereka berdua dimuka warung milik orang tua Siska itu.

Ketika Syukur dan Romi berdialog Lia memperhatikan wajah Romi. Lia bisa dengan leluasa meraba seluruh bagian wajah Romi dengan pandangannya. Karena matanya bersembunyi dibalik mika hitam helmnya.


Jika tiga minggu yang lalu hatinya sangat membenci Romi, maka pada saat bertemu sepintas dimuka warung nasi krengsengan itu ia langsung simpati. Hatinya bergetar. Dan ketika Romi dan Rofiq pergi meninggalkan dirinya, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Ia ingin bisa bebincang – bincang. Tetapi mereka berdua keburu pergi meinggalkannya. Saat itu berjanji dalam hati bahwa suatu saat ia harus bisa bertemu dengan Romi. Ia berharap bisa berbincang – bincang dengan pemuda itu. Dan pada akhirnya ia berjanji harus sanggup menaklukkan hati Romi.

Tiga minggu yang lewat Siska membenci Romi. Melihat wajah Romi yang bengkak – bengkak seperti penjahat yang baru saja dihajar masa, ia sangat benci. Sampai – sampai ketika itu ia menolak pemberian uang dari Romi. Bahkan ia menolaknya dengan sinis. Tetapi kini hatinya tersangkut diwajah Romi. Hatinya simpati terhadap Romi, pemuda lugu tapi tampan. Ia ingin kenal lebih jauh dengannya. Tetapi seperti tidak mungkin. Karena ia tidak tahu alamatnya. Yang ada dalam hatinya hanya penyesalan.

Beberapa saat Lia masih berdiri mematung. Ia masih memandang kearah hilangnya Romi dari pandangannya. Ia baru sadar ketika Syukur menegurnya.

“Bibi ! Jadi makan apa tidak ? Kalau tidak ayo naik kembali !” Tegur Syukur.

Lia gelagapan ketika ditegur Syukur. Ia tidak ada hasrat lagi untuk makan. Pikirannya hanya tertuju kepada seorang pemuda yang bernama Romi. Pemuda yang tiga minggu yang lewat menitipkan air liurnya didadanya. Kalau tiga minggu yang lewat ia jijik dengan air ;iur itu. Sekarang Lia ingin air liur yang baru dari Romi menempel didadanya lagi. Bahkan ia ingin air liur itu tembus sampai hatinya. Secara tidak ssadar saat itu ia mengelus – elus dadanya yang pernah kena air liur Romi tiga minggu yang lewat.

“Ya ya …. Ayo masuk ke warung ! Tapi tidak usaha makan ya ! Kita minum saja.” Jawab Lia dengan gugup.

“Lho bagaimana kalau tidak makan. Aku lapar banget bibi. Belum sarapan tadi. Apa bibi sudah sarapan ? Apa bibi tidak lapar ?” Jawab Syukur dan bertanya balik.

“Aku belum makan sarapan. Tapi entah kenapa aku tidak lapar.”

“Ya sudah aku saja yang makan bibi tidak usah.”

Mereka berdua berjalan menuju warung. Mereka berjalan bersama, tetapi pikiran mereka tidak sama. Lia memikirkan Romi. Maka ia ingin segera pulang dan segera membuat perhitungan dengan Romi. Sedangkan Syukur ingin segera masuk warung dan menikmati nasi krengsengan kesukaannya.

Semakin siang, sinar mentari semakin panas. Menebarkan sinarnya keseluruh permukaan apa saja. Udara semakin panas. Maka berhembuslah angin sepoi – sepoi. Angin yang menetralisir udara panas. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar