Muka Romi merah padam mendengarkan kalimat Syukur yang terakhir
itu. Ia memakai helmnya kembali. Setelah itu ia menstart motornya. Ia segera
memacu motornya kearah barat setelah menebarkan salam kepada mereka berdua. Ia
meninggalkan mereka berdua dimuka warung milik orang tua Siska itu.
Ketika Syukur dan Romi berdialog Lia memperhatikan wajah Romi. Lia
bisa dengan leluasa meraba seluruh bagian wajah Romi dengan pandangannya.
Karena matanya bersembunyi dibalik mika hitam helmnya.
Jika tiga minggu yang lalu hatinya sangat membenci Romi, maka pada
saat bertemu sepintas dimuka warung nasi krengsengan itu ia langsung simpati.
Hatinya bergetar. Dan ketika Romi dan Rofiq pergi meninggalkan dirinya, ia
merasa ada sesuatu yang hilang. Ia ingin bisa bebincang – bincang. Tetapi
mereka berdua keburu pergi meinggalkannya. Saat itu berjanji dalam hati bahwa
suatu saat ia harus bisa bertemu dengan Romi. Ia berharap bisa berbincang –
bincang dengan pemuda itu. Dan pada akhirnya ia berjanji harus sanggup
menaklukkan hati Romi.
Tiga minggu yang lewat Siska membenci Romi. Melihat wajah Romi yang
bengkak – bengkak seperti penjahat yang baru saja dihajar masa, ia sangat
benci. Sampai – sampai ketika itu ia menolak pemberian uang dari Romi. Bahkan
ia menolaknya dengan sinis. Tetapi kini hatinya tersangkut diwajah Romi.
Hatinya simpati terhadap Romi, pemuda lugu tapi tampan. Ia ingin kenal lebih
jauh dengannya. Tetapi seperti tidak mungkin. Karena ia tidak tahu alamatnya.
Yang ada dalam hatinya hanya penyesalan.
Beberapa saat Lia masih berdiri mematung. Ia masih memandang kearah
hilangnya Romi dari pandangannya. Ia baru sadar ketika Syukur menegurnya.
“Bibi ! Jadi makan apa tidak ? Kalau tidak ayo naik kembali !”
Tegur Syukur.
Lia gelagapan ketika ditegur Syukur. Ia tidak ada hasrat lagi untuk
makan. Pikirannya hanya tertuju kepada seorang pemuda yang bernama Romi. Pemuda
yang tiga minggu yang lewat menitipkan air liurnya didadanya. Kalau tiga minggu
yang lewat ia jijik dengan air ;iur itu. Sekarang Lia ingin air liur yang baru dari
Romi menempel didadanya lagi. Bahkan ia ingin air liur itu tembus sampai
hatinya. Secara tidak ssadar saat itu ia mengelus – elus dadanya yang pernah
kena air liur Romi tiga minggu yang lewat.
“Ya ya …. Ayo masuk ke warung ! Tapi tidak usaha makan ya ! Kita
minum saja.” Jawab Lia dengan gugup.
“Lho bagaimana kalau tidak makan. Aku lapar banget bibi. Belum
sarapan tadi. Apa bibi sudah sarapan ? Apa bibi tidak lapar ?” Jawab Syukur dan
bertanya balik.
“Aku belum makan sarapan. Tapi entah kenapa aku tidak lapar.”
“Ya sudah aku saja yang makan bibi tidak usah.”
Mereka berdua berjalan menuju warung. Mereka berjalan bersama,
tetapi pikiran mereka tidak sama. Lia memikirkan Romi. Maka ia ingin segera
pulang dan segera membuat perhitungan dengan Romi. Sedangkan Syukur ingin
segera masuk warung dan menikmati nasi krengsengan kesukaannya.
Semakin siang, sinar mentari semakin panas. Menebarkan sinarnya
keseluruh permukaan apa saja. Udara semakin panas. Maka berhembuslah angin
sepoi – sepoi. Angin yang menetralisir udara panas. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar