“Maaf
bibi ! Aku sekarang tidak dipesantren. Aku lagi diluar pesantren. HP yang aku
pakai tilpun ini HP biasanya itu. HP milik kenalanku pemuda kampung.”
“Betul
kan ? Kamu menipu bibimu sendiri. Coba kalau kamu berkata benar tolong sambungkan
bibi dengan ustadzmu !”
“Baiklah
kalau begitu. Aku akan kembali ke pesantren dan menemui ustadzku.”
Lia
heran terhadap kemenakannya itu. Ia tidak percaya sama sekali terhadap hadiah
untuk dirinya dari ustadznya kemenakannya itu. Karena dirinya yang merasa
salah.
Beberapa
saat kemudian HP Lia berdering lagi. Ia membuka HPnya.
“Bagaiaman
Syukur ? Bisakah aku disambungkan dengan ustadzmu ?” Tanya Lia kepada Syukur.
“Maaf
bibi ! Beliau tidak bersedia berbicara dengan bibi. Beliau malu bibi.” Jawab
Syukur.
“Ah
…kamu pandai beralasan saja. Kamu ternyata menipuku.”
“Betul
bibi. Beliau tidak bersedia berbicara dengan bibi. Beliau malu katanya malu.”
“Hemmm
… Memang kamu yang mempermainkan bibimu. Awas kalau pulang nati ya ?” Ancam Lia
dengan suara geram.
“Sumpah
bibi, beliau tidak mau berbicara dengan bibi. Maafkan aku bibi ! Aku tidak
menipu bibi. Aku berkata benaran.”
“Hei,
Syukur seperti apa sih ustadzmu itu ? Kenapa sombong sekali ? Sudah merasa
paling hebat ya ?”
“Kenapa
bibi marah – marah sama aku dan mencaci ustadzku ? Beliau tidak salah bibi.”
“Tapi
dia sombong amat. Diajak berbicara sebentar saja mengapa tidak mau ? Apa dia
terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu ? Apa dia menganggap bibimu ini orang
jelek, orang jahat, orang tidak berpendidikan. Hemmm … !”
Walapun
tidak begitu jelas Romli tahu dan mendengarkan kemarahan Lia, bibinya Syukur
itu. Ia merasa tidak enak. Ia tidak mau berbicara bukan karena sombong. Tapi ia
malu terhadap Lia. Malu atas perbuatannya tiga minggu yang lewat. Ia masih
ingat cacian Lia didalam bis.
“Ada
apa Syukur dengan bibimu ?” Tanya Romi terhadap Syukur.
“Dia
marah – marah ustadz.” Syukur.
“Marah
terhadap siapa ?”
“Marah
sama ….” Jawab Syukur tidak melanjutkan perkataannya.
“Dia
marah sama aku ?” Tanya Romi dengan penuh keheranan.
“Betul
usatdz. Ia marah dengan ustadz.”
“Kenapa
dia marah kepadaku ?”
“Karena
ustadz tidak mau diajak berbicara barang sebentar dengannya.” Jawab Syukur
dengan suara terputus – putus.
“Kalau
begitu biar akulah yang mendengarkan kemarahannya. Mana HPnya ?”
Syukur
memberikan HP itu kepada ustadznya.
____________________Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar