Ketika itu tiba – tiba terdengar ada motor yang membelok kehalaman
rumah. Syukur melihat orang yang sedang
datang.
“Itu bibi datang nek.”
Masuk memarkir motornya dekata motor Syukur. Setelah mengunci
tenggok mator MEOnya ia masuk rumah.
“Mana fotonya tadi ? Tunjukkan foto itu kepada Syukur !” Tanya
Hajjah Mariam kepada Lia.
Lia menyodorkan selembar foto itu kepada Syukur dengan berat hati.
Ia sebenarnya ingin menyimpan selembar foto itu. Tetapi ia malu mau menahan
foto itu.
“Sekarang terangkan uang sejumlah empat ratus ribu dan selembar
foto itu milik siapa ?” Perintah Hj. Mariam kepada Syukur, cucunya itu.
“Uang itu milik ustadz Romi yang dihadiahkan kepada bibi. Karena
bibi telah menemukan dan mengembalikan dompet itu kepadanya melalaui Syukur.
Dan sebagian uang itu sebagai tanda minta maafnya kepada bibi. Ia merasa
bersalah karena air liur busuknya mengenai baju bibi ketika duduk bersebelahan
di bis. Foto yang ini adalah foto ustadz
Romi. Ustadz Romi adalah salah seorang putra Kyai Roziq Desa Belik Anget.“
Jelas Syukur.
“Putra Kyai Roziq ?” Tanya Hj. Mariam keheran.
“Betul nek. Beliau putra Kyai Roziq. Ada apa dengannya ?” Tanya
Syukur.
“Ah, tidak ada apa – apa.” Jawab neneknya itu.
“Tentu nenek menyembukan sesuatu. Apa ada yang rahasia sih ?” Tanya
Syukur menyelidik.
“Tidak. Tidak ada yang nenek sembunyikan. Nenek hanya ingat masa
muda Kyai Roziq. Beliau seorang pemuda tampan dan alim. Pantas kalau putranya
mewarisi ketampanan dan kealiman abahnya.”
“Apa ibu tahu dan kenal Kyai Roziq ?” Sela Lia berapi api.
“Ibu tahu Kyai Roziq. Tapi ibu tidak kenal dengan beliau. Ibu saat
itu hanya bisa mengagumi. Ibu merasa bersyukur sekali kalau sekarang cucu ibu
menjadi murid putra beliau.”
“Maksudnya ?” Tanya Lia kepada ibunya.
“Ibu bersyukur sekali kalau sekarang Syukur, cucu ibu ini menjadi
murid ustadz Romi, putra Kyai Roziq.”
“Kenapa bu ?” Tanya Lia kepada ibunya.
“Kalau abahnya tampan dan ‘alim, tentu putranya juga demikian.”
“Selain itu apa lagi ? Apakah ibu pernah mengharapakan Kyai Roziq.”
Tanya Lia kepada ibunya.
Hj Mariyam tidak menjawab pertanyaan putrinya itu. Ia malah
mengamati selembar foto yang ada dihadapannya. Ketika itu ia ingat masa
lalunya. Masa lalu yang ia tutup – tutupi selama ini. Masa lalu yang ingin ia
lupakan. Masa lalu yang menyedihkan. Kenangan ketika ia akan bertunangan dengan
seorang ustadz tidak jadi. Beberapa saat kemudian ia berdiri dan pergi
meninggalkan Lia dan Syukur di ruang tamu itu berdua. Ia pergi menuju kekamar
dengan gontai. Sampai didalam kamar Hj. Mariam merebahkan badannya di kasur dan
menangis.
Lia mengetahui bahwa dari ujung mata ibunya ada butiran air yang
meleleh kepipinya. Ia penasaran dan sekaligus merasa bersalah. Merasa bersalah
karena dirinya telah melontarkan pertanyaan yang menyebabkan ibunya menangis.
Hati Lia menjadi galau pula.
Syukur juga mengetahui kalau neneknya menangis. Ia penasaran
terhadap neneknya. Ia merasa lucu, kenapa neneknya menangis. Padahal selama ini
ia tidak pernah tahu kalau neneknya bisa menangis.
Saat itu H. Sulaiman datang dari sawah. Ia masuk kedapur bermaksud
untuk mengambil bekal sarapan pagi buat orang – orang yang bekerja disawahnya.
Tapi ia tidak mendapati apa yang dimaksud. Ia basuh kaki dan masuk kerumah.
“Lia, mana ibumu ?” Panggil H. Sulaiman.
__________________Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar