Ustadz
Zain meraih lampu sentir dari tumpukan 4 batu bata tersebut. Beliau berjalan
pelan – pelan menuju pojok yang ditunjukkan oleh Romi. Sampai di pojok ia
jongkok. Beliau mengamati rumput hijau yang tumbuh tebal selebar 1 meter
persegi dihadapannya. Beliau menaruh lampu sentir agak jauh di sebelah rumput
tebal itu. Lantas ia membelai rumput
hijau yang basah itu berkali – kali. Tampak bibirnya berkomat – kamit
melafalkan do’a. Entah do’a apa yang di ucapkan. Setelah sekian lama berkomat –
kamit wajah Ustadz Zain tersungkur dirumput hijau yang basah itu.
Setelah
sekian lama wajah Ustadz Zain tersungkur di rumput hijau yang tebal itu, pelan
– pelan diangkatnya kembali. Lantas beliau meraihnya kembali lampu sentir itu.
Kemudian berdiri dan berjalan dengan langkah gontai menuju kearah Romi duduk.
“Maafkan
Romi muridku yang cerdas ! Sekarang aku sangat percaya terhadap apa yang kamu
terangkan. Kamu ternyata luar biasa. Aku belum pernah melakukan seperti apa
yang kamu lakukan. Usahamu dalam hal memahami suatu ilmu sangat luar biasa
hebat. Usahamu dalam tholabul ilmu bagaikan ulama – ulama salaf. Ulama terdahulu yang terkenal sholih. Aku
hanya bisa mendo’akan suatu saat nanti kamu menjadi seorang ulama besar, kyai
terkenal yang sanggup membawa ummat kearah jalan yang benar Romi. Itu
harapanku. Akupun berharap mudah – mudahan suatu sa’at nanti aku mempunyai
putra dan putri bisa mencontoh perbuatanmu yang mulia ini. Atau bahkan kalau
engkau sudah menjadi kyai atau ulama besar aku berhasrat menitipkan anak –
anakku kepadamu. Setelah aku mendengarkan keteranganmu dan melihat kenyataan
ini, maka aku bisa menyimpulkan bahwa kamulah yang lebih pantas menjadi guruku.”
Sanjung Ustadz Zain dengan langkah
gontai.
“Kisahmu
ini sangat tepat untuk suri tauldan kawan – kawanmu. Bahkan pantas menjadi suri
tauladan bagi para pemuda Indonesia. Insyaalloh lain kali kisahmu itu akan aku
jadikan bahan untuk pemberi semangat para santri yang lain Romi. Santri –
santri yang lagi lengah tujuannya dari rumah. Kalau saja aku seorang penulis,
maka kisahmu ini akan aku tulis menjadi sebuah buku cerita yang sangat menarik
dan indah. Agar bisa dipakai cermin bagi
pemuda – pemuda yang lagi lengah, dibuai mimpi – mimpi indah. Hanya sayang aku
tidak pandai menuangkan buah pikiranku dalam bentuk tulisan.” Sambung Ustadz
Zain.
“Jangan
terlalu menyanjung ustadz ! Aku bukan siapa – siapa. Aku hanya seorang santri
yang ingin memenuhi kawajibanku sebagai santri ustadz. Tapi mohon maaf ustadz,
mungkin inilah malam terakhirku belajar disini. Insyaalloh lain kali aku akan
belajar disuatu tempat yang lain. Ustadz, aku berharap, jangan sampai ceritaku
ini disebar luaskan kepada santri – santri yang lain. Aku takut akan timbul
fitnah dan hal – hal yang negative buat diriku. Sekali lagi ku mohon agar kisahku
ini tidak disebar luaskan kepada santri – santri yang lain !”
“Kisah
indahmu ini terlalu sayang untuk dibiarkan tersimpan dalam angan – angan saja.
Karena kalau diceritakan kepada santri – santri yang lain, maka kisahmu ini akan
sanggup membangunkan mereka dari tidur lelap mereka dalam kemalasan. Sanggup
menggugah mereka dari lamunan. Sanggup membakar kembali semangat belajar
mereka. Ketika kita tahu kemungkaran kita wajib untuk merubahnya. Kita tahu
banyak santri yang malas belajar. Banyak santri yang lebih mengandalkan ritual
do’a untuk mendapatkan ilmu, tanpa diimbangi dengan usaha lahir yang cukup. Maka
menyadarkan mereka adalah suatu kwajiban. Kamu jangan hanya memikirkan hanya
dirimu sendiri saja yang harus berhasil di pesantren ini. Merekapun harus
berhasil pula. Ingat mereka adalah asset Islam Romi ! Kita harapkan mereka jadi
orang – orang alim juga. Sehingga mereka sanggup pula ikut partisipasi menumbuh
kembangkan Islam dimanapun mereka berada. Aku tidak menghendaki di pesantren
ini hanya kamu yang pandai. Tetapi mereka juga harus pandai. Ingat Romi ! Keberhasilan
sebuah pesantren adalah ketika alumninya menjadi sponsor dan contoh bagi
masyarakatnya sebagai penggerak kearah kemajuan dan kebenaran dimanapun mereka
berada. Ingat Romi ! Perjuangan itu membutuhkan kawan yang cukup. Akan lebih
gampang dan enak kita berjuang kalau mempunyai kawan yang banyak. Kalau ada
masalah, semacam tekanan dari pihak – pihak tertentu kita bisa atasi bersama –
sama. Sehingga beban menjadi ringan. Kalau kita membutuhkan biaya, akan terasa
ringan mengangkat biaya tersebut. Lagi pula kalau kita berjuang mempunyai kawan
yang cukup banyak dan pandai, otomatis akan disegani oleh siapapun. Tapi kalau
kita hanya sendiri maka kita bagaikan tidak mempunyai kekuatan apa – apa Romi.
Bukankah begitu Romi?”
Romi
tidak bisa menimpali argumen ustadznya. Ia hnya diam. Ia menjawab pertanyaan
ustadznya dengan menganggukkan kepala. Karena ia sadar bahwa apa yang
disampaikan ustadznya memang benar. Tidak sepantasnya ia ingin pintar sendiri.
Tidak sepantasnya ia merasa paling hebat karena putranya seoarang kyai yang
mempunyai santri ratusan. Bagaimanapun juga ia hanya seorang Romi. Ia merasa
bukan siapa – siapa. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang pemuda, yang kyai
adalah abahnya. Ia hanya seorang santri, yang punya pesantren adalah abahnya.
Maka ia merasa tidak pantas membanggakan abahnya. Ia akan belajar dan belajar
terus sampai mendapatkan ilmu yang melebihi siapapun. Tanpa harus malu lagi
ketika belajar dan ketahuan siapapun.
Tidak
lama kemudian Ustadz Zain pamit untuk kembali ke pesantren. Karena beliau masih
ada tugas yang harus segera diselesaikan.
Romi
menjabat tangan ustadznya itu dengan menciumnya beberapa saat. Lantas ia
mengantarkan ustadznya itu sampai diujung gang masuk kearah pesantren. Setelah
ustadznya tidak tampak lagi dari pandangan matanya ia kembali ke bangunan tua
dimana ia biasa belajar setiap malam.
Angin
malam tetap berhembus halus. Menerpa air laut. Sehingga ombak landai tetap
berirama teraratur. Nyanyian ombak itu
tetap menyeruak kemana – mana. Menghibur siapa saja yang masih terjaga dan
mengail dibibir laut. ***
_________________ :) ^_^ 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar