“Ooo….
Ceritanya bagus juga ya. Suatu ketika aku kepingin juga pergi ke Mesir dan
belajar disana kalau bagitu. Siapa tahu bisa juga seperti Ustadz Toha.”
“Semua
orang mempunyai kesempatan yang sama. Kamupun ada kesempatan untuk berhasil seperti
Ustadz Toha. Hanya bagaimana cara meraih dan menggunakan kesempatan yang ada.”
Syukur
diam sebentar. Sudah lama ia ingin bisa berbincang – bincang dengan Ustadz Romi.
Ia ingin menyampaikan tentang bibinya yang telah menemukan dompetnya. Yang
didalam dompet itu ada KTP, kartu anggota OSIS, dan kartu santri milik ustadnya
itu. Tiba – tiba ia ingin menggunakan kesempatan yang tepat. Ia tidak ingin
melepaskan kesempatan yang benar – benar tepat itu. Sekaligus ia ingin jadi
pahlawan bagi ustazdnya tersebut.
“Kenapa
diam ?” Tanya Romi.
“Seumpama
ada seseorang yang menemukan dompet ustadz, dan kemudian memberikan kepada
ustadz apa yang akan ustadz lakukan ?” Tiba – tiba Syukur mneyeletuk.
“Aku
akan memberikan hadiah kepadanya. Dan tentu aku akan menyampaikan rasa terima
kasih yang sedalam – dalamnya juga. Kalau mungkin orang tersebut akan aku
jadikan saudaraku.”
“Sekalipun
orang tersebut pernah menyakiti ustadz ? Apakah ustadz akan tetap memperlakukan
semacam itu ?”
Romi
diam sejenak. Pertanyaan Syukur terasa lain. Getaran hatinya menemukan jawaban.
Filingnya mengatakan bahwa Syukur mengetahui orang yang menemukan dompetnya.
“Hemmm
…. Kenapa kamu bertanya beagitu ? Apakah kamu telah mengetahui orang yang
menemukan dompetku ?”
Syukur
tidak menjawab pertanyan ustadznya itu. Ia hanya menundukkan kepalanya. Jari
telunjuknya menulis diatas lantai. Ia berat untuk mengungkapkan apa yang
sebenarnya telah diketahui.
“Kenapa
diam saja ? Apakah kamu mengetahui orang yang menemukannya ?”
“Betul
ustadz. Aku tahu orang yang telah menemukan dompet milik ustadz.” Jawab Syukur
dengan suara terbata – bata.
“Siapapun
orangnya yang menemukan dompetku aku akan memberikan hadiah kepadanya. Dan aku
akan menganggapnya sebagai saudara. Walaupun orang tersebut pernah menyakitiku.
Karena aku selama ini tidak pernah menganggap musuh terhadap siapapun.” Terang
Romi.
“Apakah
benar yang kamu katakan ? Kamu tidak sedang bermimpi Syukur ?” Tanya Romi
berapi – api.
“Benar
ustadz. Aku tidak sedang bermimpi.” Jawab Syukur.
“Kalau
begitu tunjukkan kepadaku siapa orangnya yang telah menemukan dompet itu ! Aku
besuk pagi akan mendatanginya dan akan memberikan hadiah yang layak baginya.
Aku akan berterima kasih pula kepadanya.”
“Aku
rasa tidak perlu ustadz bertemu langsung dengan orangnya.”
“Kalau
aku tidak bisa bisa bertemu dengannya terus bagaimana aku bisa mengambil
dompetku itu ? Bagaimana aku harus menyerahkan hadiah kepadanya ? Bagaimana
pula aku harus berterima kasih kepadanya ?”
“Biar
aku saja ustadz yang akan membereskan semuanya.”
“Jadi
kamu tahu orang yang menemukan dompetku ?”
“Betul
ustadz. Aku tahu dan kenal dengan orang itu.”
“Oouu
…. Kalau begitu kapan kamu akan
mengambilkan dompetku itu darinya ?”
“Dompet
ustadz dan isinya sekarang ada dikamar ini ustadz. Karena dompet itu sudah aku
bawa sejak saat itu.”
“Benar
begitu ? Sejak kapan dompet itu kamu bawa ?”
“Sejak
aku kembali ke pesantren ini.”
“Jadi
kamu benar – benar bertemu dengan orang yang menemukan dompetku itu ? Siapa dia
Syukur ?” Tanya Romi menggebu.
“Betul
aku bertemu dengan orang tersebut. Karena setiap aku pulang dari pesantren
selalu berjumpa dengannya. Dia adalah bibiku sendiri.”
“Al
– Hamdulillahi robbil ‘alamin. Astaghfirullohal ‘adhim. Ya Alloh aku mohon
kepadamu, berikanlah kelancaran seglra urusan bagi orang yang telah menemukan
dompetku itu Ya Alloh ! Allohumma amin, Ya mujibas sailin. Kalau boleh tahu
mana sekerang dompetku itu Syukur ?”
Syukur
berdiri dan berjalan menuju almarinya. Ia membuka almari itu dan mengambil
dompet yang sudah disimpan selama tiga minggu dalam almari itu. Lantas Syukur
menyerahkan dompet itu kepada ustadznya.
“Ini
ustadz dompetnya! Maaf ya kalau aku selama ini tidak segera menyampaikan kepada
ustadz ! Karena aku dan bibiku takut. Takut ustadz marah terhadapku dan
terhadap bibiku.”
“Al
– Hamdulillah, Ya Alloh Engkau masih
mengembalikan dompet dan isinya kepadaku. Sehingga aku tidak usah bersusah
payah untuk mengurus KTP baru lagi.” Ucap Romi bersyukur.
“Tidak
selayaknya aku marah terhadapmu. Apalagi terhadap bibimu. Bibimu tentu orang
yang baik hati. Tidak pantas orang baik – baik dimarahi. Seharusnya orang baik
harus disanjung dan didoakan. Kalau boleh lain kali aku ingin bisa kenalan
dengan bibimu.” Sambung Romi.
_______________________
Insyaalloh bersambung. ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar