Lia
terdiam. Ia merenungkan kembali kekasarannya didalam bis terhadap orang yang
disebutkan sebagai ustadz kemenakannya itu. Ia mencari cara agar tidak bisa
ketahuan oleh orang yang pernah dihinakan dalam bis itu.
“Kalau
begitu dompet itu berikan kepadanya tanpa menyebutkan siapa yang menemukan.
Sehingga dia tidak mengetahui kalau bibi yang telah menemukan dan yang berbuat
kasar kepadanya.”
“Bagaimana
Syukur bisa berbohong kepada ustadznya sendiri bibi.”
“Demi
untuk menjaga keselamatan bibimu sendiri.”
“Apakah
tidak sebaiknya bibi minta maaf saja kepada beliau.”
“Hemmm
… Bagaimana ya enaknya ?”
“Menurut
Syukur lebih baik minta maaf saja bibi. Karena lain kali kalau berjumpa tidak
ada rasa malu lagi bibi.”
“Ya
sudah, aku pikir dulu. Besuk ya, aku kasih jawabannya. Sekarang pulanglah !”
Syukur
keluar rumah bibinya dengan membawa oleh – oleh dari bibinya. Sampai diluar ia
langsung menstart motor Tigernya dan tancap gas menuju rumahnya.
Syukur
ikut gelisah atas peristiwa yang menimpa gurunya gara – gara bibinya itu. Ia
menjadi repot mau memberikan dompet ustadznya dipesantren. Kalau ketahuan yang
sudah berlaku kasar adalah bibinya maka ia sangat malu. Mungkin di pesantren
tidak bisa akrab dengan ustadz yang dikaguminya itu seperti dulu lagi.
Sejak
mengetahui bahwa pemuda yang kepalanya ia sodok dengan keras itu adalah ustadz
kemenakannya, Lia tidak bisa tenang. Malam itu Lia hamper tidak bisa tidur. Ia
hanya berfikir bagaimana cara untuk menghindari beretmu dengan pemuda yang
telah ia sakiti itu. Ia berharap kalaulah lain kali berjumpa mudah – mudahan
dalam perjumpaan yang menyenangkan.
Maka
sejak itu ia selalu berdoa dan mengirim fatihah untuk pemuda, Romi yang telah ia sakiti itu. Ia sangat berharap
agar kalau suatu ketika berjumpa Alloh memberikan perjumpaan yang sangat indah.
***
Ketika
Romi keluar dari warungnya, penjual nasi diterminal itu mengikuti langkah –
langkah Romi dengan pandangan matanya. Ia juga melihat ketika Romi menghadang
puluhan mobil dan mobil itu tidak ada yang mau berhenti. Ia melihat baju Romi
basah kuyup. Ia juga melihat ketika Romi berdiri ditengah – tengah jalan untuk
memberhentikan mobil dengan paksa.
Ketika
mau tidur melihat putra – putrinya ia langsung teringat kepada pemuda yang baru saja membeli nasi di
warungnya. Ia menyesal telah memperlakukan pemuda itu dengan perlakuan yang
kurang baik. Ketika itu naluri kewanitaannya timbul. Naluri keibuannya muncul.
Ia menyesal tidak mau menolong orang yang benar – benar dalam kesusahan. Padahal
pemuda itu begitu tulusnya mengatakan keadaan dirinya. Pemuda itu sampai mengeluarkan apa yang ada
dalam tasnya. Empunya warung penjual nasi di terminal Tuban malam itu gelisah.
Saat
itu penjual nasi tersebut bergumam “Aku tidak selayaknya memperlakukannya
sekeji itu. Hanya sepiring nasi sisa sangat tidak berarti. Hanya uang tujuh
ribu tidak ada nilainya dibanding dengan kesedihan yang ditanggung pemuda itu.
Aku berjanji suatu ketika dia kesini untuk melunasi hutangnya kepadaku, maka
akan aku beri makan sepuasnya tanpa bayar. Dan akan aku beri nasi untuk dibawa
pulang pula. Aku benar – benar menyesal.”***
Malam
itu Mas Edy sopir pick up setelah sampai rumah gelisah. Ia sedih telah berkata
kasar kepada putra Kyia Roziq ketika dihadang di terminal Tuban. Ia takut kalau
kata – katanya yang kotor disampaikan kepada ustadznya, Kyai Roziq oleh Romi,
putranya. Ia berjanji ingin segera menemui Romi untuk meminta maaf. Ia juga
ingin berpesan agar perkataannya yang kotor itu tidak diceritakan kepada abahnya. ***
_______________-
Insyaalloh bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar