Lia
membuka dompet itu pelan – pelan dengan hati dsg dig dug. Kemudian mengeluarkan
semua isinya. Diamatinya KTP, kartu santri dan kartu OSISnya.
Setelah
mengamati KTP, karyu santri dan kartu OSISnya ia tahu bahwa nama empunya dompet
adalah Romi.
Kemudian
Lia mengamati foto yang ada di KTP. Tetapi foto itu terlalu kecil. Sehingga
tidak begitu jelas wajah Romi. Lantas ia mengamati kartu OSISnya. Tetapi foto
yang dikartu ini juga tidak begitu jelas. Selanjutnya ia mengamti foto yang ada
di kartu santri. Foto yang berada di kartu santri ini agak lebih besar.
Dibanding dengan foto di kedua kartu ini yang menempel di kartu santri lebih
jelas. Ia mengamati dengan sekesama foto ini. Ia membandingkan dengan bayangan
wajah Romi yang ia jumpai di bis. Ia menyimpulkan tidak ada kesamaan. Karena
wajah yang ia dapati di bis bengkak – bengkak. Sedang wajah yang ada dalam
kartu santri tidak ada bengkaknya. Ia menyimpulkan wajah yang ada di kartu
santri jauh lebih tampan dibanding
dengan wajah yang ada di jumpai di bis.
“Bibi
! Mana oleh – olehnya untuk mama dan adikku ? Katanya mau membelikan oleh –
oleh.” Panggil kemenakannya, Syukur dari luar kamar.
“Sebentar
! Bibi masih ganti pakaian.” Jawab Lia beralasan.
“Tapi
sudah lama aku menunggu. Mama dan adikku keburu terlelap tidur nanti.”
“Ya,
tunggu sebentar !” Pinta Lia terhadap putra mbakyunya, Syukur.
Lia
keluar dari kamar. Tangan kirinya menenteng tas kresek berisi kue pudak. Sedang
tangan kanannya memegang dompet jelek.
“Ini,
bibi hanya membeli pudak. Hujan tiada henti, jadi bibi tidak bisa belanja lebih
leluasa lagi.”
“Hehehehe….
Bibi mau ngasih uang juga kan ?” Tanya Syukur.
“Uang
untuk apa ?”
“Uang
untuk ojeknya bibi. Itu bibi pegang dompet. Mesti bibi akan nagsih uang.”
“Hemmm
…. Ini bukan dompet bibi. Tapi ini dompet penumpang yang duduk disebelah bibi.
Penumpang yang sudah membuat bibi tersiksa.” Jawab Lia.
“Ouu
…. Jadi bibi merampas dompetnya ? Bibi jahat kali.”
“Tidak
begitu. Dia mengantuk dan berkali kali kepalanya disandarkan dibahu dan dada
bibi. Jadinya bibi sangat jengkel. Dan yang paling jengkel ia sampai
menumpahkan air liur di baju bibi. Itu tengok air liurnya yang busuk masih bisa
dilihat di baju dalam bak pakaian kotor itu.”
“Ah
yang benar bibi bilang. Masak ia tega sengaja menumpahkan air liurnya di baju
bibi ?”
“Katanya
sih tidak sengaja. Tapi masak sepanjang perjalanan ia tidur melulu. Maka ketika
itu kepalanya aku benturkan kedinding bis sebelah kirinya. Agar ia terbangun.
Setelah terbangun ia minta maaf. Kemudian ia turun di terminal Tuban. Padahal
rencananya turun di Tambak Boyo.”
“Oouu
… begitu. Adakah KTP, atau kartu tanda pengenal lain bibi ?” Tanya Syukur
kepada bibinya.
“Ada.
Bahkan kartu tanda pengenalnya ada tiga didalam dompet itu. KTP, kartu OSIS dan
kartu santri.”
“Coba
aku lihat bibi !”
Lia
memberikan dompet itu kepada Syukur, kemenakannya. Syukur membuka dompet itu.
Ia mengamati tiga kartu tanda pengenal. KTP Desa Belik Anget, kartu OSIS, dan
kartu santri. Beberapa saat ia mengamati.
“Astaghfirullohal
adhim. Hemmm…!” Gumam Syukur.
“Kenapa
?”
“Kalau
kartu ini benar miliknya, maka ia adalah ustadzku. Aku akan malu menyerahkan
dompet ini bibi.”
“Apakah
benar itu ustadzmu ?”
“Ya.
Dia ustadz yang luar biasa hebat bibi. Dia di pesantren terkenal mempunyai ilmu
laduni. Ilmu yang tanpa belajar bisa dikuasai.”
Lia
terdiam. Ia merenungkan kembali kekasarannya didalam bis terhadap orang yang
disebutkan sebagai ustadz kemenakannya itu. Ia mencari cara agar tidak bisa
ketahuan oleh orang yang pernah dihinakan dalam bis itu.
____________________
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar