Total Tayangan Halaman

Sabtu, 10 Maret 2012

Cerber 33.Kasih Tak Sampai 4. Gelisah

Lia membuka dompet itu pelan – pelan dengan hati dsg dig dug. Kemudian mengeluarkan semua isinya. Diamatinya KTP, kartu santri dan kartu OSISnya. 

Setelah mengamati KTP, karyu santri dan kartu OSISnya ia tahu bahwa nama empunya dompet adalah Romi. 

Kemudian Lia mengamati foto yang ada di KTP. Tetapi foto itu terlalu kecil. Sehingga tidak begitu jelas wajah Romi. Lantas ia mengamati kartu OSISnya. Tetapi foto yang dikartu ini juga tidak begitu jelas. Selanjutnya ia mengamti foto yang ada di kartu santri. Foto yang berada di kartu santri ini agak lebih besar. Dibanding dengan foto di kedua kartu ini yang menempel di kartu santri lebih jelas. Ia mengamati dengan sekesama foto ini. Ia membandingkan dengan bayangan wajah Romi yang ia jumpai di bis. Ia menyimpulkan tidak ada kesamaan. Karena wajah yang ia dapati di bis bengkak – bengkak. Sedang wajah yang ada dalam kartu santri tidak ada bengkaknya. Ia menyimpulkan wajah yang ada di kartu santri jauh lebih  tampan dibanding dengan wajah yang ada di jumpai di bis.    

“Bibi ! Mana oleh – olehnya untuk mama dan adikku ? Katanya mau membelikan oleh – oleh.” Panggil kemenakannya, Syukur dari luar kamar.

“Sebentar ! Bibi masih ganti pakaian.” Jawab Lia beralasan.

“Tapi sudah lama aku menunggu. Mama dan adikku keburu terlelap tidur nanti.”

“Ya, tunggu sebentar !” Pinta Lia terhadap putra mbakyunya, Syukur.

Lia keluar dari kamar. Tangan kirinya menenteng tas kresek berisi kue pudak. Sedang tangan kanannya memegang dompet jelek.

“Ini, bibi hanya membeli pudak. Hujan tiada henti, jadi bibi tidak bisa belanja lebih leluasa lagi.” 

“Hehehehe…. Bibi mau ngasih uang juga kan ?” Tanya Syukur.

“Uang untuk apa ?”

“Uang untuk ojeknya bibi. Itu bibi pegang dompet. Mesti bibi akan nagsih uang.”

“Hemmm …. Ini bukan dompet bibi. Tapi ini dompet penumpang yang duduk disebelah bibi. Penumpang yang sudah membuat bibi tersiksa.” Jawab Lia.

“Ouu …. Jadi bibi merampas dompetnya ? Bibi jahat kali.”

“Tidak begitu. Dia mengantuk dan berkali kali kepalanya disandarkan dibahu dan dada bibi. Jadinya bibi sangat jengkel. Dan yang paling jengkel ia sampai menumpahkan air liur di baju bibi. Itu tengok air liurnya yang busuk masih bisa dilihat di baju dalam bak pakaian kotor itu.”

“Ah yang benar bibi bilang. Masak ia tega sengaja menumpahkan air liurnya di baju bibi ?”

“Katanya sih tidak sengaja. Tapi masak sepanjang perjalanan ia tidur melulu. Maka ketika itu kepalanya aku benturkan kedinding bis sebelah kirinya. Agar ia terbangun. Setelah terbangun ia minta maaf. Kemudian ia turun di terminal Tuban. Padahal rencananya turun di Tambak Boyo.”

“Oouu … begitu. Adakah KTP, atau kartu tanda pengenal lain bibi ?” Tanya Syukur kepada bibinya.

“Ada. Bahkan kartu tanda pengenalnya ada tiga didalam dompet itu. KTP, kartu OSIS dan kartu santri.”

“Coba aku lihat bibi !”

Lia memberikan dompet itu kepada Syukur, kemenakannya. Syukur membuka dompet itu. Ia mengamati tiga kartu tanda pengenal. KTP Desa Belik Anget, kartu OSIS, dan kartu santri. Beberapa saat ia mengamati.

“Astaghfirullohal adhim. Hemmm…!” Gumam Syukur.

“Kenapa ?”
 
 “Kalau kartu ini benar miliknya, maka ia adalah ustadzku. Aku akan malu menyerahkan dompet ini bibi.”

“Apakah benar itu ustadzmu ?”

“Ya. Dia ustadz yang luar biasa hebat bibi. Dia di pesantren terkenal mempunyai ilmu laduni. Ilmu yang tanpa belajar bisa dikuasai.”

Lia terdiam. Ia merenungkan kembali kekasarannya didalam bis terhadap orang yang disebutkan sebagai ustadz kemenakannya itu. Ia mencari cara agar tidak bisa ketahuan oleh orang yang pernah dihinakan dalam bis itu. 
____________________
Insyaalloh bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar