Tiara tiba – tiba merasa geram dengan Romi si santri yang menenteng tas usang dipundaknya itu. Ia merasa dilecehkannya. Ia ingin memukulnya. Ia ingin membalas perlakuan Romi terhadap dirinya itu dengan memakai tangan orang lain. Ia ingin berteriak keras “copet” agar Romi dikejar – kejar orang di terminal dan dihajarnya. Tetapi Tiara mengakui bahwa hatinya tidak bisa melakukan itu. Karena sebagaian hatinya telah dititipkan dihati Romi. Kalau Romi sakit tentu Tiara ikut sakit juga.
Tiba – tiba Romi meloncat di kehujanan itu. Ia memburu bis yang baru saja datang. Bis jurusan Jakarta. Ia ingin segera masuk kedalam bis itu dan terbebas dari rayuan Tiara.
Tetapi sial bagi Romi. Ia tidak tahu kalau tas usangnya bagian belakang sudah dipegang erat oleh Tiara sejak tadi. Ia terjatuh digenangan air. Maka seluruh pakaiannya basah kuyup masuk ke genangan air hujan. Bersamaan dengan itu orang – orang disekitarnya tidak menolong. Mereka beramai – ramai mendatangi Romi. Mereka menganggap bahwa romi adalah pencopet. Maka mereka menghajar Romi. Kepala, perut, punggung Romi sempat mendapatkan pukulan dan tendangan dari mereka beberapa kali.
Merasa dirinya dikeroyok, Romi berusaha menyelamatkan diri. Tanpa menyadari bahwa semua pakaiannya basah dan tasnya tertinggal, ia segera bangkit dan lari menuju sebuah bis yang baru saja datang. Bis jurusan Jakarta. Ia segera masuk kedalam bis itu. Baginya keselamatan adalah nomer satu pada saat yang demikian.
Usaha Romi ini sia – sia pula. Karena mereka mengejarnya pula masuk kedalam bis. Didalam bis ia kena pukul kepalanya beberapa kali oleh mereka. Romi berusaha kabur dari bis itu. Ia menerobos gerombolan penumpang bis yang sedang keluar melalui pintu belakang dengan loncat. Di depan pintu belakangpun ternyata sudah banyak orang yang menghadangnya. Bahkan ia sempat kena pukul kepalanya dan kena tendang perut dan kakinya beberapa kali.
Romi berusaha lari meloloskan diri dari kepungan mereka menuju pos polisi unit terminal. Namun sebelum sampai di pos polisi ia terjepit oleh sekian orang pengejarnya. Saat yang terjepit itu ia berhenti berlari. Darah kependekarannya timbul. Semboyan kependekarannya juga timbul “musuh jangan dicari, tapi ketika ada musuh jangan lari. Begitulah semboyan yang ditanamkan oleh guru besar silatnya dulu, KH. Yusuf Rofi’i SH Sepanjang Sidoarjo.”
“Maaf aku bukan pencopet ! Jagan pukuli aku ! Ayolah bicaralah baik – baik saja di pos polisi sana itu !”
“Hemmm … Kurang ajar, pencopet mengaku bukan pencopet. Pandai pula kamu mengelabuhi kmi. Ayo kita hajar !” Teriak salah seorang diantara mereka yang paling besar diantara mereka.
“Maaf saudaraku ! Jangan kalian memaksaku untuk mengakui apa yang tidak aku kerjakan ! Ayo kita biacara baik – baik saja di pos polisi itu !”
“Ayo kita sergap saja ! Ia berusaha mengalihkan perhatian kita. Setelah kita lengah dia akan kabur. Ia akan melarikan diri.”
“Astaghfirullohal ‘adhim … Kalian tidak percaya denganku. Jangan salahkan aku kalau diantara kalian ada yang terluka.”
“Bangsat. Dasar pencopet, sudah terjepit mengancam pula. Ayo kita sergap rame – rame !” Teriak orang tersebut.
Romi pasang kuda – kuda. Kedua tangannya ditaruh didepan dadanya. Mengepal. Kaki kirinya menjulur kedepan dan kaki kanannya dibelakang. Jari – jari kakinya mengeras. Ia berposisi kuda – kuda berat belakang. Ia mengambil nafas dalam – dalam.
Matanya melirik kearah samping kanan dan kiri. Ia melirik celah yang bisa diterobos untuk segera lari ke pos polisi. Ketika beberapa orang menyergapnya dengan cepat Romi menggerakkan kaki dan tangannya dengan sangat cepat pula.
__________________
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar