Lelaki
itu mencoba membuka dompet tersebut. Satu persatu isi dompet tersebut ditaruh
dipangkuannya dengan hati – hati agar tidak terjatuh. Diantara isinya adalah :
selembar KTP, selembar kartu santri, selembar kartu OSIS, dan uang sejumlah Rp.
65.000,- saja.
Lelaki
itu mengamati tiga kartu tersebut. Selembar KTP, selembar kartu pelajar / OSIS,
dan selembar kartu santri.
KTP
itu menyebutkan dengan jelas dan lengkap alamat empunya. Kartu OSIS menyebutkan
bahwa empunya kartu adalah seorang pelajar di sebuah sekolah tingkat atas (SMA)
kelas tiga. Sedangkan kartu santrinya menyebutkan bahwa empunya kartu adalah
salah satu santri pondok pesantren di Sarang Rembang.
“Kalau
saja aku dekat sini, aku akan antarkan di pesantrennya. Karena pesantrennya
bisa dibilang pinggir jalan raya. Aku akan menginap dipesantrennya. Sayang aku
jauh mbak. Kalau tidak keberatan mbak sajalah yang membawa dompet ini. Kapan –
kapan bisa diantarkan ke pesantrennya.” Pinta lelaki tersebut.
“Peduli
amat. Biarkan sajalah !” Jawab wanita itu.
“Kasihan
mbak. Dia santri, bukan orang biasa mbak. Santri itu orang yang mempunyai
kedudukan lebih. Santri itu orang yang dekat dengan sang pencipta. Doanya
biasanya dikabul oleh Allah. Siapa tahu setelah kita menolongnya Allah juga
menolong kita. Apalagi orang yang mempunyai dompet ini sekarang kelas tiga. Dia
tentu akan sangat bersyukur kalau kita tolong. Artinya dompetnya kita antarkan,
maka ia akan mendoakan kita juga. Barang kali mbak kelas tiga, bisa juga berkat
menolong dia ujian mbak dipermudah oleh Alloh.”
Wanita
itu terdiam sejenak. Ia merenungi untaian kalimat lelaki tersebut. Ia juga
merasa heran mengapa lelaki itu sampai sejauh memikirkan orang lain. Padahal
biasanya lelaki itu lebih cuwek dibanding perempuan. Ia ingat dirinya juga
kelas tiga. Tiba – tiba naluru kwanitaannya timbul. Begitu timbul naluri
keibuannya ia berguman “setiap orang lahir dari rahim ibunya, aku tidak
pantas sebagai wanita membiarkan nasibnya, membiarkan dompet milinyahilang sia
– sia.”
Tiba
– tiba air mata kewanitaannya merembes di pipinya yang halus. Wanita itu
mengambil kertas tisu dari sakunya. Ia mengusap air matanya dengan tisu itu
beberapa kali.
“Kalau
begitu biarlah aku yang membawa dompet itu. Aku kelas tiga juga mas. Sebentar
lagi dia ujian dan aku juga ujian. Siapa tahu dia juga berkenan mendoakanku
sehingga aku dapat kemudahan dalam mengerjakan soal. Dan aku merasa tersentuh
dengan kata – katamu mas. Aku kasihan dia. KTP, kartu pelajar dan kartu santri
itu benda – benda yang sangat berharga mas bagi seorang pelajar dan santri. Kapan
– kapan ada sempat aku akan minta tolong kepada seseorang untuk mengantarkan
kartu – kartu kealamat rumah atau kepesantrennya.”
“Terima
kasih mbak. Semoga saja berlimpah keberkahan bagi mbak.”
“Amin.
Ya mas. Harapanku begitu mas. Apakah mas juga santri ?”
“Ya,
aku juga santri.”
“Di
pondok mana mas nyantrinya ?”
“Jauh
dari sini mbak. Aku nyantri menghafalkan Al – Qur’an di Pekalongan mbak.”
“Jauh
juga ya ?”
“Ya,
jauh.” Jawab seorang lelaki tersebut.
“Persiapan
Sobontoro. Silahkan menepi !” Teriak kernek bis.
“Ya
pak kernek.” Teriak wanita itu.
“Mas
santri aku turun disini ya ?” Teriak wanita cantik kepada lelaki yang tadi
duduk disebelahnya.
Bis
menepi dan berhenti di kampung Sobontoro. Seorang wanita cantik turun dari bis.
Di tepi jalan sudah ada seorang lelaki yang sudah menunggunya. Lelaki tersebut
lebih muda dibanding wanita tersebut. Lelaki tersebut memakai jas hujan dan
duduk di motor TIGERnya.
“Kenapa
lambat kali bibi Lia ? Biasanya sebelum maghrib sudah samoai ?” Tanya kemenakan
laki - lakinya yang menjemput.
____________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar