Hajjah
Aminah mengamati pemuda yang bengkak wajahnya beberapa saat. Lantas ia berkata.
“Apa
kamu yang tadi makan malam disini itu ?” Tanya Hajjah Aminah.
“Betul.
Akulah yang tadi malam makan disini dengan mengutang. Maka pagi ini aku bayar
hutangku. Ini uangnya.” Jawab Romi.
Romi
memberikan uang sejumlah 25 ribu kepada Hajjah Aminah. Selembar uang receh dua
puluhan, dan selembar uang lima ribuan.
“Lho
memangnya berapa hutangmu tadi malam ?” Tanya Hajjah Aminah.
“Tadi
malam hutangku 7 ribu. Sekarang biarlah aku bayar 25 ribu. Tujuh ribu untuk
membayar makan dan sisanya untuk jasanya.”
“Jasa
apa ?”
“Jasa
ibu menjaga tasku semalam. Sehingga tasku aman.”
“Ah,
ada – ada saja. Tapi kan tas itu untuk jaminan kan ? Tidak usahlah. Aku tidak
mau menerima uang selebihnya dari 7 ribu.”
“Biarlah
! Sisanya aku sedekahkan saja kalau begtu.”
“Ah,
aku tidak mau. Pokoknya aku tidak mau menerima. Titik…” Tolak Hajjah Aminah.
Hajjah
Aminah lantas masuk kedalam (dapur) lagi. Bermaksud menjumpai putrinya. Tapi
Siska, putrinya tidak didalam. Siska hanya berdiri disebelah pintu. Siska
mengintip dan mendengarkan semua dialog antara mamanya dan kedua orang tamunya
itu.
“Hemmm
…. Kamu disini Sis, ada apa ?” Tegur Hajjah Aminah terhadap putrinya.
“Ya
mama. Aku mendengarkan obrolan mama dengan mereka.” Jawab Siska.
“Untuk
apa ? Tidak pantas gadis sebesar kamu mengintip – intip obrolan mama dengan
pemuda.”
“Kenapa
tidak pantas mama. Siska kan sudah kelas tiga SMA. Sebentar lagi tamat sekolah
SMA. Masak mendengarkan obrolan semacam itu saja tidak boleh. Siska kan juga
ingin bisa bergaul mama.” Jawab Siska yang pelajar SMA 1 Tuban itu.
“Sudah
– sudah sana duduk didepan sana !” Hajjjah Aminah menumpahkan sedikit rasa
jengkelnya.
“He
he he … mama. Pagi – pagi sudah marah – marah. Menurut Siska uang sedekah
pemuda itu lebih baik diterima saja mama. Itu jelas halal mama. Dan bisa untuk
uang jajan Siska besuk pagi.” Pinta Siska.
“Hus
… !!! Apa kamu bilang ? Kalau diterima uang sedikit itu bisa menjadikan bencana
bagi warung kita Sis.”
“Bencana
apa mama ? Masak sih uang segitu bisa menjadikan bencana bagi warung kita. Apa
kita dianggap korupsi ?”
“Huh
…!!! Kamu tidak paham juga Sis. Kalau uang dari pemuda itu kita terima, maka
pemuda itu bisa menyebarkan fitnah. Warung kita diisukan rentenir. Uang tujuh
ribu selang semalam saja bisa menjadi 25 ribu. Maka langganan kita akan lari
dari sini Siska.”
“Aku
pikir tidaklah mama. Mereka pemuda
tampan mama. Hatinya tentu juga tampan. Apalagi mereka itu tampaknya
juga ustadz. Mana mungkin ada ustadz mau menyebarkan fitnah. Mereka tentu tahu
mama bahwa fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan mama. Begitu kata guru
agama disekolahku.”
“Hemmm
… Kamu sudah tahu pemuda tampan Sis ? Kamu malah ceramah. Sudah … sudah.
Sekarang bukan waktunya ceramah. Sekarang ambilkan saja tiga bungkus roti itu
untuk mama ! Dan ambilkan juga tas kresek hitam itu digantungan itu !”
__________________
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar