“Ya kan, menyesal. Tidak bisa sholat berjama’ah. Makanya lain kali
membawa peralatan sholat kalau bepergian. Oke kalau begitu. Tapi sebentar aku
ingin pamit dulu kepada mbak Siska.”
“Tidak usah pamit ! Tadi sudah aku pamitkan. Kelamaan nanti.” Cegah
Lia dengan nada yang mencurigakan.
“Sebentar saja.”
“Pokoknya tidak usah pamit. Tadi sudah aku pamitkan.” Cegah Lia
lagi.
“Kenapa sih ? Mesti ada sesuatu yang disembunyikan. Kalau bibi
tidak terus terang apa alasannya, maka aku tidak akan meu pulang begitu saja.”
Lia tidak menjawab pertanyaan Syukur itu. Ia hanya memandang Syukur
dengan mata tidak suka. Seakan ia mau menerkamnya.
Namun Syukur tidak gentar mendapat pandangan yang menakutkan itu.
Ia malah membalikkan badan dan pergi menuju kesebelah selatan mushollah. Ia
memandang kearah langit yang luas.
“Hemmm …. Baru kali ini aku merasakan seperti ini. Rasa
cemburu kepada Siska, teman akrabku sendiri. Itulah alasanku kenapa aku
melarangmu untuk pamit kepada Siska. Sekarang kamu sudah tahu alasan bibimu kan? Ayo segara pulang !” Kata Lia
dengan suara berat.
Syukur tidak ingin menyakiti hati bibinya. Ia maklum terhadap
ucapan bibinya itu. Maka ia segera menstart motornya. Kemudian Lia, bibinya
naik diboncengannya. Setelah memandang dan menganggukkan kepala kepada Siska
Syukur memacu matornya kearah utara, lantas membelok kearah barat. Menuju kota
kecamatan Tambak Boyo.
Syukur dan Lia meninggalkan warung nasi krengsengan itu. Sebuah
warung nasi yang menyimpan sejarah indah bagi Romi, Siska, dan Lia.
Siska mengikuti kepergian Lia, kawan akrabnya dan Syukur hanya
dengan pandangan matanya sampai hilang ditelan belokan jalan. Setelah mereka
hilang di tikungan jalan tiba – tiba hatinya merasa sunyi, dan sepi.
Mentari tetap bersinar. Tetapi sinarnya semakin pudar. Panasnya
semakin reda. Angin berhembus semakin kencang. Menebarkan udara dingin.
Menyebabkan sinar mentari tak kuasa menyengat kulit lagi.***
______________________Insyalloh bersambung
tulisan yg bgus, dilanjutin di buat NOVEL saja bro.
BalasHapus