Tapi Syukur tidak menjawabnya juga. Ia justru memalingkan wajahnya.
Ia membuang pandangannya keluar warung. Sikap Syukur ini menunjukkan ketidak
setujuannya dengan perintah bibinya itu.
“He he he … Kamu berbohong kepadaku kan ? Biasa kalau orang sedang
tergila – gila kepada seseorang. apa saja dilakukan. Sekalipun harus berbohong.
Itu buktinya keponakanmu tidak mau mengakatakan apa yang kamu minta.”
“Dia tidak menjawab karena malu. Dia mintanya ditanya yang jelas.”
Lia memberikan alasan.
Lia kemudian mengambil tas kresek warna putih. Setelah itu ia mengeluarkan
satu setel baju warna hijau muda. Lantas menunjukkan kepada Siska.
“Ini Siska satu stel baju yang aku beli dari uang pemberian pemuda
tadi.” Kata Lia.
“Ah kamu bohong. Bisa saja kamu bilang begini dan begitu sesuai apa
yang kamu kehendaki. Karena aku tidak tahu yang benar atas ucapanmu itu.”
“Sumpah demi Alloh, baju ini aku beli dengan uang pemberiannya.”
Lia menoleh kepada Syukur. Ia ingin Syukur membantu dirinya. Kali
ia ingin meyakinkan Siska kawannya itu dengan bantuan kesaksian kemenakannya
yang masih lugu itu.
“Syukur, katakanlah dengan benar kepada Siska uang dari mana baju ini aku beli !” Pinta Lia
penuh harap.
Syukur merasa iba terhadap bibinya. Ia tahu bibinya sangat
mencintai ustadznya, Romi. Ia tahu bibinya ingin menjadi isteri ustadznya. Ia
tidak tega membiarkan bibinya dalam kondisi gelisah. Seperti apapun juga
bibinya adalah darah dagingnya. Maka ia mengatakan yang benar, walaupun dengan
niat yang lain. Niat untuk meredakan perdebatan bibinya dengan Siska.
“Benar. Baju itu dibeli dari uang pemberiannya, Romi ustadzku.”
Kata Syukur singkat.
Mendengar pernyataan Syukur itu Siska merasa terpukul. Hatinya tiba
– tiba tidak enak. Raut mukanya berubah. Ia tiba – tiba diam. Dihatinya tidak
rela kalau pemuda yang memanggul tas jelek itu menjadi milik Lia. Ia
menghendaki pemuda itu menjadi miliknya.
Siska tidak ingin kegelisahannya itu diketahui Lia. Ia ingin
menutupi kegelisahannya. Ia ingin menyembunyikan kegelisahan itu.
“Aduh … sampai lupa. Ayo masuk ! Mau makan apa ?” Ajak Siska dengan ramah.
Lia dan Syukur masuk kedalam warung. Mereka berdua duduk
bersebelahan di dekat pintu dapur. Sedang Siska pergi ke dapur menemui ibunya.
“Mama…. Tolong bikinkan nasi krengsengan tiga porsi rasa special ma
!” Pinta Siska kepada mamanya.
“Aduh … aduh. Mama sibuk melayani pembeli yang antri. Bikin sendiri
saja ! Sejak tadi hanya ngobrol saja. Sana bikin sendiri saja !” Perintah Hj.
Aminah.
Lia dan Syukur mendengar perkataan Hj. Aminah itu. Mereka merasa
tidak enak. Seakan dianggap pendatang yang mengganggu dan merepotkan. Namun
mereka juga sadar bahwa kedatangannya memang menjadikan Siska tidak bisa
membantu mamanya.
Siska tidak menimpali omelan mamanya. Ia merasa bersalah. Karena ia
ngobrol saja beberapa waktu dengan kawan sekolahnya itu. Ia segera menata tiga
piring. Ia meramu menu khusus untuk dirinya dan Lia dan kemenakannya. Tidak
lama kemudian ia selesai meracik nasi krengsengan itu. Lantas membawa dan
menghidangkannya.
“Maaf ya ! Mamaku marah kepadaku. Karena aku tidak membantunya.”
Siska menyampaikan permohonan maaf itu kepada Lia dan Syukur dengan suara lirih.
“Seharusnya akulah yang minta maaf. Karena gara – gara akulah kamu
tidak bisa membantu mamamu. Sehingga mamamu berkata kurang terkendali.” Jawab Lia.
________________________
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar